Dunia Panggung Kita: Multi-Peran Manusia | Ziauddin Sardar & Shakespeare


Dunia Ini Panggung Kita: Mengurai Multi-Peran Manusia Bersama Ziauddin Sardar & Shakespeare

Sejak zaman kuno, manusia telah merenungkan hakikat keberadaan dan peran mereka di alam semesta. Dari filosof Yunani hingga sufi Persia, pertanyaan tentang “siapa kita” dan “apa yang harus kita lakukan” selalu menjadi inti pencarian makna. Di era modern, pemikir seperti Ziauddin Sardar telah memperkaya diskusi ini, menawarkan perspektif bahwa setiap individu memang memiliki berbagai peran yang kompleks dalam hidupnya. Ini beresonansi kuat dengan adagium klasik “Dunia ini panggung sandiwara,” sebuah ungkapan yang akrab di telinga kita, entah dari lirik lagu Achmad Albar atau monolog ikonis William Shakespeare.

Mari kita bersama-sama mengurai lapisan-lapisan peran ini, memahami bagaimana kita ‘berakting’ dalam kehidupan, terkadang dengan jujur, terkadang pula dengan topeng, serta mengapa kompleksitas peran ini seringkali terasa berbeda antara pria dan wanita.


Kisah di Balik Layar: Peran Ganda Manusia dalam Perspektif Sardar dan Shakespeare

Konsep bahwa hidup adalah sebuah panggung bukanlah hal baru. Ia adalah metafora abadi yang melintasi budaya dan zaman.

Ketika Shakespeare Bertutur: Panggung dan Tujuh Babak Kehidupan

Mari kita kembali sejenak ke akar frasa ini. Jauh sebelum lirik Taufiq Ismail menyentuh hati kita melalui suara Achmad Albar, William Shakespeare, pujangga agung Inggris, telah melukiskannya dengan indah. Dalam dramanya “As You Like It,” karakter Jaques mengucapkan monolog yang legendaris:

Inggris:

All the world’s a stage,

And all the men and women merely players;

They have their exits and their entrances,

And one man in his time plays many parts,

Indonesia:

“Seluruh dunia adalah panggung,

Dan semua pria dan wanita hanyalah pemain belaka;

Mereka memiliki pintu keluar dan masuknya,

Dan satu orang pada masanya memainkan banyak peran,”

Monolog ini kemudian menguraikan tujuh babak kehidupan seorang manusia: dari bayi yang tak berdaya, anak sekolah yang menggerutu, kekasih yang merana, prajurit yang ambisius, hakim yang bijaksana, orang tua yang kurus kering, hingga usia senja yang kembali ke kekanakan. Shakespeare dengan piawai menunjukkan bagaimana setiap tahapan ini adalah “peran” yang kita mainkan, dengan kostum, dialog, dan tujuan yang berbeda.

Varian Lokal: “Panggung Sandiwara” Achmad Albar

Di Indonesia, semangat metafora panggung ini menemukan resonansinya dalam lagu “Panggung Sandiwara” yang dibawakan Achmad Albar, dengan lirik mendalam dari Taufiq Ismail:

“Dunia ini panggung sandiwara

Ceritanya sangat mudah berubah

Kita semua pemain belaka

Di atas panggung sandiwara”

Lagu ini menangkap esensi ketidakpastian hidup dan bagaimana kita semua adalah bagian dari narasi yang lebih besar, kadang tanpa kendali penuh atas plotnya. Ia menegaskan bahwa hidup adalah sebuah pertunjukan, di mana kita adalah aktor yang tak henti bergerak, berinteraksi, dan beradaptasi.

Perspektif Ziauddin Sardar: Melampaui Peran Tunggal

Namun, pemikiran modern, seperti yang diutarakan oleh Ziauddin Sardar (seorang intelektual dan futuris Muslim terkemuka), membawa pemahaman ini ke tingkat yang lebih nuansa. Sardar menekankan bahwa setiap individu tidak hanya memainkan satu atau dua peran utama, melainkan banyak peranan secara simultan, yang saling tumpang tindih dan memengaruhi.

Misalnya, dalam satu hari yang sama, seseorang bisa berperan sebagai:

  • Seorang anak bagi orang tuanya.
  • Seorang orang tua bagi anak-anaknya.
  • Seorang karyawan/profesional di kantor.
  • Seorang warga negara yang taat hukum.
  • Seorang tetangga yang ramah.
  • Seorang teman yang mendengarkan.
  • Seorang anggota komunitas atau organisasi.
  • Seorang individu dengan minat dan hobi pribadi.

Ini adalah multi-peran yang terus-menerus kita “mainkan,” seringkali tanpa jeda, berpindah dari satu “set” ke “set” berikutnya.


Peran Pria: Sebuah Panggung dengan Kompleksitas Unik

Meskipun Shakespeare menyebut “semua pria dan wanita hanyalah pemain belaka,” dan Ziauddin Sardar melihat multi-peran pada setiap individu, penting untuk mengakui bahwa dinamika dan ekspektasi peran seringkali berbeda secara signifikan antara pria dan wanita. Meski semangat emansipasi terus menguat dan batasan gender semakin cair, faktanya, pria seringkali menghadapi tekanan unik dan konflik peran yang kompleks.

Dalam monolog Shakespeare, peran “prajurit” (soldier) dan “hakim” (justice) secara tradisional diasosiasikan dengan maskulinitas, menekankan keberanian, ambisi, dan otoritas. Hingga hari ini, banyak masyarakat masih membebankan peran sebagai pencari nafkah utama, pelindung keluarga, dan pemimpin kepada pria.

Seorang pria modern mungkin secara simultan memerankan:

  • Penyedia: Menghadapi tekanan untuk stabil secara finansial dan memastikan kebutuhan keluarga terpenuhi.
  • Pelindung: Bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan orang yang dicintai.
  • Figur Otoritas: Diharapkan untuk mengambil keputusan sulit dan memimpin dalam berbagai konteks.
  • Ayah: Harus hadir secara emosional dan terlibat dalam pengasuhan anak.
  • Suami/Pasangan: Perlu menjadi pendengar, pendukung, dan mitra yang setara.
  • Profesional: Bersaing di dunia kerja yang menuntut performa tinggi.
  • Individu: Masih harus menemukan ruang untuk ekspresi diri dan minat pribadi.

Konflik sering muncul ketika tuntutan dari satu peran bertabrakan dengan peran lain. Misalnya, tuntutan pekerjaan yang tinggi sebagai penyedia dapat mengurangi waktu dan energi untuk peran sebagai ayah atau suami. Ekspektasi untuk selalu kuat dan tegar sebagai pelindung bisa menghambat pria untuk mengekspresikan kerentanan atau mencari bantuan saat dibutuhkan. Ini adalah tightrope walk yang terus-menerus di atas panggung kehidupan, menyeimbangkan tanggung jawab domestik, profesional, dan pribadi.

Peran berpura-pura seringkali lebih sering dimainkan oleh pria karena tekanan untuk “menjadi kuat,” “tidak boleh menangis,” atau “selalu tahu jawabannya.” Topeng-topeng ini, meskipun terkadang melindungi, juga dapat membatasi kebebasan emosional dan otentisitas.


Peran Wajar versus Peran Berpura-pura: Mengapa Kita Berakting?

Dalam rentetan peran ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah semua peran yang kita mainkan adalah peran wajar (otentik, sesuai dengan diri sejati kita) atau ada kalanya kita memainkan peran berpura-pura (sebuah topeng, untuk memenuhi ekspektasi atau menghindari konflik)?

Peran Wajar: Otentisitas di Panggung Kehidupan

Peran wajar muncul ketika kita bertindak sesuai dengan nilai-nilai, keyakinan, dan kepribadian inti kita. Ini adalah “akting” yang tulus, di mana karakter yang kita tunjukkan di luar selaras dengan diri kita di dalam. Misalnya:

  • Seorang ibu yang secara alami peduli dan penyayang.
  • Seorang guru yang bersemangat dalam mendidik muridnya.
  • Seorang seniman yang menciptakan karya dari lubuk hati.

Memainkan peran wajar membawa kepuasan dan kebahagiaan, karena tidak ada energi yang terbuang untuk menyembunyikan diri sejati.

Peran Berpura-pura: Topeng Demi Adaptasi Sosial

Sebaliknya, peran berpura-pura seringkali muncul sebagai mekanisme adaptasi sosial. Kita mungkin “berakting” untuk:

  • Memenuhi ekspektasi sosial atau profesional: Misalnya, tersenyum pada atasan yang tidak kita sukai, atau berpura-pura setuju dalam rapat demi keharmonisan.
  • Menghindari konflik: Mengangguk setuju pada pandangan yang tidak kita setujui untuk menjaga kedamaian.
  • Mencari penerimaan: Berusaha menjadi seseorang yang disukai oleh kelompok tertentu, meskipun itu berarti mengorbankan bagian dari diri kita.
  • Mencapai tujuan tertentu: Misalnya, seorang salesperson yang harus menunjukkan antusiasme berlebihan demi penjualan.

Meskipun terkadang diperlukan untuk navigasi sosial, terlalu sering memainkan peran berpura-pura dapat menyebabkan kelelahan emosional, rasa tidak otentik, dan bahkan krisis identitas.


Menjadi Sutradara dan Aktor Utama di Panggung Sendiri

Menerima bahwa kita memainkan banyak peran, baik yang wajar maupun yang berpura-pura, adalah langkah pertama menuju kesadaran diri. Lalu, bagaimana kita bisa menjadi sutradara yang lebih baik atas “pertunjukan” hidup kita?

  1. Refleksi Diri: Luangkan waktu untuk merenungkan peran-peran yang Anda mainkan. Apakah ada peran yang terasa membebani? Apakah ada peran yang kurang Anda kembangkan?
  2. Keseimbangan Peran: Pikirkan tentang bagaimana Anda mengalokasikan waktu dan energi untuk setiap peran. Apakah ada satu peran yang terlalu mendominasi sehingga mengorbankan peran lain yang penting?
  3. Prioritas: Identifikasi peran mana yang paling penting bagi Anda saat ini dan berikan perhatian yang lebih. Prioritas bisa berubah seiring waktu.
  4. Batas yang Jelas: Belajar menetapkan batas antara peran yang berbeda. Misalnya, saat Anda menjadi orang tua, fokuslah pada peran itu tanpa terganggu oleh peran sebagai karyawan.
  5. Otentisitas: Usahakan untuk mengurangi “akting” yang tidak perlu. Semakin otentik Anda, semakin sedikit energi yang terbuang dan semakin besar kebahagiaan yang Anda rasakan. Tentu, ada kalanya kita perlu bersikap diplomatis, tetapi membedakan antara diplomasi dan kepura-puraan adalah kunci.
  6. Istirahat dari Panggung: Penting untuk memiliki momen “di balik layar” di mana Anda bisa melepas semua peran dan menjadi diri Anda sendiri sepenuhnya, tanpa ekspektasi atau tuntutan. Ini adalah waktu untuk mengisi ulang energi.

Setiap Detik Adalah Babak Baru

Filosofi “Dunia ini panggung sandiwara,” yang diperkaya oleh pemikiran Ziauddin Sardar tentang multi-peran, mengingatkan kita bahwa hidup adalah sebuah perjalanan dinamis. Kita adalah aktor yang terus berevolusi, memainkan peran yang berbeda dalam adegan yang terus berganti. Dengan kesadaran, refleksi, dan sedikit keberanian untuk menjadi diri sendiri, kita bisa menjadikan setiap “pertunjukan” kita sebuah mahakarya.

Bagaimana dengan Anda? Peran apa yang sedang Anda mainkan hari ini, dan apakah Anda merasakan kompleksitas unik dalam peran yang Anda emban? Bagikan pengalaman dan pemikiran Anda di kolom komentar di bawah!


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *