Sebuah Dongeng Tentang Kesadaran.
Kisah Dua Pengetahuan: Mata Air Tersembunyi dan Air Kemasan Para Penguasa

Bayangkan, di sebuah dunia yang tak kasat mata, setiap bayi yang lahir ke dunia ini dianugerahi sebuah keajaiban. Bukan harta, bukan takhta, melainkan sebuah sumber mata air murni yang tersembunyi di dalam dada mereka.
Mata air ini istimewa. Airnya jernih, sejuk, dan memiliki kebijaksanaan alamiah. Siapapun yang meminumnya akan mengerti mana yang baik dan buruk, merasakan keindahan dalam kesederhanaan, dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup tanpa perlu membuka buku tebal. Mata air ini adalah bisikan nurani, kilatan intuisi, sebuah anugerah suci. Inilah pengetahuan hakiki yang kita bawa sejak awal.
Di masa-masa awal, manusia hidup selaras dengan mata air di dada mereka. Mereka saling berbagi kebijaksanaan dengan tulus. Tak ada yang merasa lebih pintar, karena setiap orang punya akses ke sumber kejernihan yang sama.
Namun, zaman berubah.
Sekelompok orang yang cerdik dan ambisius mulai memperhatikan fenomena ini. Mereka berpikir, “Wah, semua orang punya sumber air gratis. Bagaimana jika… kita mengaturnya? Bagaimana jika kita bisa membuat semua orang percaya bahwa hanya air dari kitalah yang paling bersih dan layak minum?”
Maka, dimulailah sebuah proyek raksasa.
Mereka menamakan diri mereka “Para Arsitek Kebenaran”.
Hal pertama yang mereka lakukan adalah membangun sebuah Bendungan Raksasa. Bendungan ini tidak terbuat dari beton, melainkan dari aturan, hukum, dan sistem. Tujuannya adalah untuk menampung dan mengendalikan semua aliran “pengetahuan” di masyarakat.
Di sebelah bendungan itu, mereka mendirikan sebuah Pabrik Pengolahan Air Modern. Di pabrik inilah semua keajaiban (atau mungkin tragedi) terjadi.
Air dari berbagai sumber—termasuk yang coba mereka sedot dari mata air orang-orang—dimasukkan ke pabrik ini. Di dalam, air itu melewati serangkaian proses:
- Filter Standarisasi: Sebuah filter raksasa menyaring semua air. Partikel-partikel “aneh” seperti intuisi liar, keyakinan leluhur, atau pemikiran yang tak biasa, dianggap sebagai “kotoran” dan dibuang. Hanya air yang sesuai standar para arsitek yang boleh lolos. Inilah yang kita kenal sebagai kurikulum sekolah atau “fakta ilmiah” yang disetujui.
- Proses Klorinasi: Setelah disaring, air diberi sedikit “klorin”. Bukan klorin sungguhan, tapi narasi-narasi yang memastikan air itu aman bagi kekuasaan Para Arsitek. Cerita kepahlawanan versi mereka, sejarah yang ditulis oleh mereka, dan definisi sukses menurut mereka.
- Pengemasan Eksklusif: Terakhir, air jernih hasil olahan itu dimasukkan ke dalam botol-botol plastik berkilauan dengan merek yang meyakinkan: “WATER-DEMIA: Air Pengetahuan Terverifikasi”, “SCIENCE-WATER: Fakta Murni Teruji”, atau “CIVIL-ADE: Minuman Orang Beradab”. Botol-botol ini diberi label, disegel, dan diberi harga.
Lalu, botol-botol air kemasan ini didistribusikan melalui jaringan pipa resmi yang mereka bangun: sekolah, universitas, media massa, hingga seminar-seminar motivasi.
Apa yang terjadi pada masyarakat?
Perlahan tapi pasti, orang-orang mulai ragu dengan mata air di dada mereka sendiri.
“Kata iklan di TV, air yang baik itu yang sudah diolah di pabrik,” kata seorang warga.
“Anakku harus minum ‘WATER-DEMIA’ kalau mau dapat ijazah dan pekerjaan bagus,” kata orang tua kepada anaknya.
“Mata air di dadaku ini? Ah, ini kan air kampung. Belum teruji. Mungkin berbahaya, mungkin kotor,” pikir yang lain.
Generasi berganti. Orang-orang lupa bahwa mereka memiliki sumber mata air pribadi. Mereka menjadi konsumen setia air kemasan dari Para Arsitek Kebenaran. Mereka bekerja keras untuk membeli “pengetahuan” yang sebenarnya sudah mereka miliki secara gratis. Mereka bahkan akan mengejek siapa saja yang masih mencoba minum dari mata air di dadanya sendiri, menyebut mereka “kuno”, “irasional”, atau “anti-kemapanan”.
Para Arsitek Kebenaran pun tersenyum. Mereka tidak perlu lagi menggunakan kekerasan. Mereka cukup mengontrol sumber air, dan semua orang akan patuh dengan sendirinya. Pengetahuan kini telah resmi menjadi milik mereka.
Tapi cerita ini belum berakhir.
Sebab, mata air di dalam dada itu adalah anugerah ilahi. Ia tak bisa benar-benar kering. Di sudut-sudut masyarakat yang tak tersentuh pipa pabrik, masih ada mereka yang merasakan getaran sumbernya. Para seniman yang melukis dari bisikan hatinya. Para ibu yang menasihati anaknya dengan kearifan turun-temurun. Para pemikir sunyi yang berani menggali ke dalam dirinya sendiri.
Mereka adalah bukti bahwa mata air itu masih ada, menunggu untuk ditemukan kembali.
Kisah ini bukanlah dongeng dari negeri antah-berantah. Ini adalah kisah dunia kita. Kisah tentang pertarungan sunyi antara kearifan di dalam diri kita dan sistem raksasa yang mencoba memberitahu kita apa yang harus kita ketahui.
Jadi, coba pejamkan mata sejenak dan rasakan.
Masihkah Anda mendengar gemericik lembut mata air di dalam dada Anda? Ataukah Anda sudah terlalu terbiasa dengan segarnya air kemasan yang disuguhkan setiap hari?