Ied Mubarak

Idul Adha 1447 H

Idul Adha 1447 H: Epik Cinta Abadi & Kurban yang Menggetarkan Jiwa

Oleh: Jim Koto, Penulis Fiksioner

 

Ketika ufuk timur mulai membiaskan semburat jingga keemasan, dan senandung takbir mengalun syahdu, menggetarkan dawai-dawai kalbu, kita—sekali lagi—diundang untuk menyelami samudra makna Idul Adha 1447 Hijriah. Bagi saya, seorang perajut kisah yang gemar berkelana di rimba imajinasi, momen ini adalah sebuah naskah abadi. Bukan sekadar ritual, melainkan sebuah epik agung tentang Cinta dalam wujudnya yang paling murni, dan Pengorbanan sebagai mahkotanya yang paling mulia.

Mari kita buka lembaran kuno, bukan dengan mata sejarawan, tetapi dengan jiwa seorang fiksioner yang haus akan drama Ilahiah. Di sana, tersebutlah Ibrahim AS, sang Khalilullah, Kekasih Allah. Bayangkan pergulatan batinnya, bukan sebagai keraguan, melainkan sebagai dialog cinta terdalam dengan Sang Maha Cinta. Perintah untuk menyembelih Ismail AS, putranya yang terkasih, adalah sebuah plot yang menguji setiap serat keimanan, setiap denyut nadi kasih sayang seorang ayah. Ini bukan sekadar ujian, ini adalah manifestasi cinta pada level kosmik.

Bisikan Cinta di Padang Pengorbanan

Saya sering membayangkan, bukan dialog verbal semata, namun bisikan-bisikan kalbu yang tak terucap antara Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar. Cinta Ibrahim yang membara kepada Allah, begitu dahsyat hingga mampu melampaui cintanya pada buah hati. Lalu, cinta Ismail, bukan kepasrahan buta seorang anak, melainkan pemahaman mendalam akan takdir cinta ayahnya kepada Sang Pencipta, dan cintanya sendiri pada ketaatan. Ia bukan objek, melainkan subjek aktif dalam drama cinta ini.

Dan jangan lupakan Siti Hajar. Kegigihannya berlari antara Shafa dan Marwah, demi setetes air untuk sang bayi Ismail, adalah prolog dari epik pengorbanan ini. Sebuah monumen cinta seorang ibu yang tak lekang oleh waktu, yang mengajarkan kita bahwa cinta sejati seringkali lahir dari rahim kesulitan dan perjuangan tanpa henti.

“Maka ketika anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Ayat ini, adalah puncak dari dialog cinta yang penuh keteguhan. Bukan perintah dingin, melainkan ajakan penuh kasih dari seorang ayah, dan jawaban penuh cinta dari seorang anak. Kemudian, hadirnya domba sebagai tebusan adalah resolusi paling indah dari Sang Sutradara Kehidupan. Bukan karena Allah membutuhkan darah, tetapi karena Dia ingin mengabadikan esensi cinta dan pengorbanan itu sendiri.

Kurban: Simfoni Cinta yang Mengalun Abadi

Idul Adha adalah tentang merayakan cinta dalam berbagai lapisannya, yang terwujud dalam semangat kurban:

  • Cinta Ilahiah (Mahabbatullah): Ketaatan absolut Ibrahim adalah syair cinta tertinggi kepada Allah. Mengajarkan kita bahwa cinta sejati kepada-Nya berarti siap melepaskan apa pun yang paling kita cintai di dunia ini, karena Dia adalah sumber segala cinta.
  • Cinta Keluarga (Mahabbah fil Usrah): Keharmonisan, kesabaran, dan kepatuhan dalam keluarga Ibrahim adalah cermin cinta yang kokoh. Pengorbanan waktu, ego, dan kenyamanan demi keutuhan keluarga adalah kurban kita sehari-hari.
  • Cinta Kemanusiaan (Mahabbah fil Insaniyyah): Daging kurban yang dibagikan adalah jembatan cinta yang menghubungkan hati. Ia meniadakan sekat kaya dan miskin, mengalirkan kasih sayang, dan mengingatkan bahwa setiap jiwa berharga. Ini adalah orkestrasi cinta sosial yang luar biasa.

Setiap hewan yang dikurbankan, adalah simbol. Simbol dari ego kita yang perlu disembelih, keserakahan yang perlu dilepaskan, dan kemelekatan pada duniawi yang perlu dikorbankan. Dengan pisau keikhlasan, kita memotong belenggu-belenggu itu, agar taman hati kita bisa ditumbuhi bunga-bunga cinta yang murni kepada-Nya dan kepada sesama.

Menuliskan Kembali Narasi Kurban dalam Kehidupan Kontemporer

Idul Adha 1447 H ini adalah sebuah kanvas putih yang kembali disodorkan kepada kita. Sebuah kesempatan untuk menuliskan kembali narasi kurban dan cinta dalam konteks kehidupan kita yang modern. Apa “Ismail” kita hari ini? Mungkin harta yang paling kita genggam erat, jabatan yang kita puja, waktu luang yang enggan kita bagi, atau bahkan opini keras kepala yang menolak mendengar suara kebenaran lain.

Kurban bukanlah tentang kehilangan, melainkan tentang meraih sesuatu yang jauh lebih besar: keridhaan Allah, kedamaian batin, dan keabadian cinta. Dengan setiap helaan napas pengorbanan yang tulus, kita sebenarnya sedang menenun permadani cinta yang akan menghantarkan kita pada kebahagiaan sejati.

Maka, biarlah gema takbir yang membahana menjadi inspirasi. Biarlah setiap tetes darah kurban menjadi saksi. Bahwa kita, para “penulis” kisah kehidupan ini, bertekad untuk menjadikan cinta sebagai tinta, dan pengorbanan sebagai pena, dalam merangkai mahakarya terbaik menuju-Nya.

Selamat Hari Raya Idul Adha 1447 Hijriah.
Semoga setiap pengorbanan kita menjadi pupuk bagi tumbuhnya cinta yang abadi.